Monday, February 23, 2015

Ekologi dan Islam



Lingkungan hidup, sebagai karunia Allah SWT, berupa sistem dari ruang, waktu, materi, keanekaragaman, dan alam pikiran serta prilaku manusia, merupakan daya dukung bagi kehidupan dan kesejahteraan bagi manusia dan seluruh makhluk lainnya.
Islam   merupakan agama yang berisi ajaran dan petunjuk serta pedoman bagi para pemeluknya tentang bagaimana manusia harus bersikap dan berprilaku dalam kehidupan.   Petunjuk dan pedoman ini secara sempurna telah digariskan oleh ajaran Islam dalam kitab suci Nya, Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi SAW.  Petunjuk ini mengatur manusia bagaimana harus  hidup bahagia dan sejahtera, didunia dan di akhirat. Di samping itu  petunjuk ini juga mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, sang penciptanya,  hubungan manusia dengan manusia lainnya,   dan manusia dengan alam semesta termasuk bumi yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Pemurah dan Pengasih bagi kesejahteraan hidupnya.  Karenanya, Islam secara jelas mengajarkan tanggung jawab manusia bagi kelangsungan hidup dan kesejahteraan makhluk hidup lainnya.
Hingga saat ini permasalahan lingkungan hidup mendapat perhatian besar dari hampir semua negara-negara di dunia. Ini terutama terjadi dalam dasawarsa 1970-an setelah diadakannya konferensi PBB tentang lingkungan hidup di Stokholm pada tanggal 5 Juni 1972. Konferensi ini kemudian dikenal dengan Konferensi Stokholm, dan pada hari dan tanggal itulah kemudian ditetapkan sebagai hari lingkungan hidup sedunia. Namun sayangnya hingga saat ini lepas dari tiga dekade kemudian-walaupun jumlah lembaga dan aktivis environmentalism semakin bertambah dari tahun ke tahun, namun laju kerusakan lingkungan masih terus berlangsung. Kegagalan tersebut banyak diakui kalangan aktivis disebabkan karena kebijakan yang disusun tidak secara konsisten dilaksanakan.
Pendidikan lingkungan hidup, yakni pendidikan yang berhubungan dengan pengetahuan lingkungan di sekitar manusia dengan berbagai unsurnya, memiliki posisi penting dalam rangka menjaga keserasian dan kelangsungan lingkungan hidup itu sendiri. 
Istilah lingkungan, sebagai ungkapan singkat dari lingkungan hidup merupakan alih bahasa dari istilah asing environment (Inggris) dan al-bi`ah (Arab).  Ilmu yang mengkaji tentang lingkungan hidup ini disebut ekologi.[1] Jadi ilmu lingkungan hidup adalah ilmu yang mempelajari tentang kenyataan lingkungan hidup, dan bagaimana mengelolanya untuk menjaga kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.  (Soerjani, 1984).
Kata ‘lestari’ dapat diartikan sebagai tetap seperti keadaannya semula, tak berubah atau kekal. Jadi, pelestarian adalah pengelolaan sumber daya alam yang menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya.  
Islam sebagai agama samawi terakhir di dunia, di bawa oleh  Nabi Muhammad saw. sebagai penyempurna agama-agama sebelumnya. Konsekuensinya, Islam akan dan harus bisa menjawab tantangan-tantangan dari kedinamisan yang ada di dunia sampai masa akhir nanti (kiamat). Tantangan tersebut dapat berupa tantangan yang berhubungan dengan tauhid, jinayah maupun muamalah. Walaupun tantangan dari kedinamisan perjalanan masa dapat terjawab dengan sempurna oleh Islam, namun banyak kalangan tetap berprasangka, bahwa jalan terbaik menghilangkan prasangka tersebut adalah harus dijawab secara ilmiah sehingga pemecahan persoalan terjawab secara objektif.

Al-Qur’an dan hadits secara bersama-sama telah memberikan perhatian yang cukup memadai bagi permasalahan lingkungan.  Perhatian hadits terhadap lingkungan akan dapat diperoleh, diantaranya, dalam hadits-hadits yang berkaitan dengan aspek kesehatan. Dalam al-Qur'an dijelaskan bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi. Kewajiban manusia sebagaikhalifah di bumi adalah dengan menjaga dan mengurus bumi dan segala yang ada di dalamnya untuk dikelola sebagaimana mestinya. Dalam hal ini kekhalifahan sebagai tugas dari Allah untuk mengurus bumi harus dijalankan sesuai dengan kehendak penciptanya dan tujuan penciptaannya. Tujuan Allah mensyariatkan hukumnya adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari kerusakan (mafsadah), baik di dunia maupun di akhirat. Untuk mewujudkan kemaslahatan itulah Abu Ishaq al-Syatibi, Dalam kitab al-Muwâfaqât, membagi tujuan hukum Islam (maqâshid al-syarîah) menjadi lima hal: 1) penjagaan agama (hifdz al-dîn), 2) memelihara jiwa (hifdz al-nafs), 3) memelihara akal (hifdz al-‘aql), 4) memelihara keturunan (hifdz al-nasl), dan 5) memelihara harta benda (hifdz al-mâl). Lebih jauh Yusuf al-Qardlawi dalam Ri’âyatu al-Bi’ah fi al-Syarî’ati al-Islâmiyyah menjelaskan mengenai posisi pemeliharaan ekologis (hifdz al-`âlam) dalam Islam adalah pemeliharaan lingkungan setara dengan menjaga maqâshidus syarî’ah yang lima tadi. Selain al-Qardlawi, al-Syatibi juga menjelaskan bahwa sesungguhnya maqâshidus syarî’ah ditujukan untuk menegakkan kemaslahatan-kemaslahatan agama dan dunia, di mana bila prinsip-prinsip itu diabaikan, maka kemaslahatan dunia tidak akan tegak berdiri, sehingga berakibat pada kerusakan dan hilangnya kenikmatan perikehidupan manusia (Abdillah, 2001).
Secara formal, lingkungan hidup dapat dipandang sebagai suatu sistem yang merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk, termasuk di dalamnya manusia dan prilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.  (UU No. 4 tahun 1984, Bab I Pasal 1 ayat 1).  Atau dengan kata lain, lingkungan hidup merupakan sistem dari ruang, materi, waktu, keanekaragaman, dan alam pikiran serta prilaku manusia. 
Ruang merupakan konsep lingkungan hidup yang utama.  Dalam Al-Qur’an, berbagai ayat memberikan paparan bahwa penciptaan ruang antara bumi dan langit merupakan ungkapan kebesaran Allah Al-Khaliq. Sementara itu, materi, merupakan bagian pokok dari konsep lingkungan hidup yang banyak dijelaskan dalam Al-Qur’an.  Dalam konsep lingkungan hidup, disebutkan bahwa materi mengalami transformasi, perubahan bentuk perwujudannya, tetapi tidak hilang ataupun musnah.  Dalam beberapa ayat disebutkan berbagai bentuk transformasi tersebut, diantaranya :
Air sebagai sumber kehidupan,  dengan tumbuh-tumbuhan akan kamu peroleh buah-buahan dan minyak, dengan binatang akan kamu peroleh susu dan sebagian yang untuk kamu makan.  Kesemuanya ini untuk dinikmati dan disyukuri oleh manusia.  (Q.S.  23 : 17-23).
Dalam konteks ajaran Islam, jauh sebelum persoalan-persoalan lingkungan hidup muncul dan menghantui penduduknya, Islam telah lebih dahulu memberi peringatan lewat ayat-ayat al-Qur'an. Urusan lingkungan hidup adalah bagian integral dari ajaran Islam. Seorang Muslim justru menempati kedudukan strategis dalam lingkungan hidup yang diciptakan sebagai khalifah di bumi ini sesuai dengan Surat Al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi:  
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ……﴿30﴾
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seseorang khalifah dimuka bumi"
Ayat ini ditafsirkan secara lebih spesifik oleh Sayyed Hossein Nasr, dosen studi Islam di George Washington University, Amerika Serikat.  dalam dua bukunya “Man and Nature ” dan “Religion and the Environmental Crisis ”, seperti yg dikutip Alim:
“……Man therefore occupies a particular position in this world. He is at the axis and centre of the cosmic milieu at once the master and custodian of nature. By being taught the names of all things he gains domination over them, but he is given this power only because he is the vicegerent (khalifah.) of God on earth and the instrument of His Will. Man is given the right to dominate over nature only by virtue of his theomorphic make-up, not as a rebel against heaven”.
Sebagai khalifah, sudah tentu manusia harus bersih jasmani dan rohaninya. Inilah inti dari kebersihan jasmani merupakan bagian integral dari kebersihan rohani. Jelaslah bahwa tugas manusia, terutama muslim/muslimah di muka bumi ini adalah sebagai khalifah (pemimpin) dan sebagai wakil Allah dalam memelihara bumi (mengelola lingkungan hidup).
Oleh karena itu, dalam memanfaatkan bumi ini tidak boleh semena-mena, dan seenaknya saja dalam mengekploitasinya. Pemanfaatan berbagai sumber daya alam baik yang ada di laut, didaratan dan didalam hutan harus dilakukan secara proporsional dan rasional untuk kebutuhan masyarakat banyak dan generasi penerusnya serta menjaga ekosistemnya. Allah sudah memperingatkan dalam surat al'A'raf ayat 56:
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ ﴿56﴾

" Dan janganlah kalian membuat kerusakan di atas muka bumi setelah Allah memperbaikinya dan berdo'alah kepada-Nya dengan rasa takut tidak diterima dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik". (al-A'raf:56).
Menyadari hal tesebut maka dalam pelaksanaan pembangunan sumber daya alam harus digunakan dengan rasional. Penggalian sumber kekayaan harus diusahakan dengan sekuat tenaga dan strategi dengan tidak merusak tata lingkungan dan tata hidup manusia. Perlu diusahakan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan dan bisa menjaga kelestariannya sehingga bisa dimanfaatkan secara berkesinambungan. Kita harus bisa mengambil i'tibar dari ayat Allah yang berbunyi:
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ آَمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ ﴿112﴾

"Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan(dengan) dengan sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tentram rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat". (an-Nahl :112).
Manusia Indonesia harus sadar bahwa krisis multidimensi dan bencana yang datang bertubi-tubi seperti tanah longsor, banjir, kekeringan, kebakaran hutan, tanaman diserang hama dan lainnya adalah karena ulah manusia itu sendiri.
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ ﴿41﴾

"Telah nampak kerusakan didarat dan dilaut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Alllah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali kejalan yang benar".  (QS. ar-Rum: 41).
Dalam ayat-ayat tersebut diatas  Allah SWT secara tegas menjelaskan tentang akibat yang ditimbulkan kerena perbuatan manusia  yang mengekploitasi lingkungan yang berlebihan. Ayat-ayat Al-Qur'an ini sekaligus juga menjadi sebuah terobosan paradigma baru untuk melakukan pengelolaan lingkungan melalui sebuah ajaran religi, sehingga hak atas lingkungan adalah hak bagi setiap umat di dunia. Selain itu, hak atas lingkungan sebagai hak dasar manusia juga telah menjadi kesepakatan internasional melalui butir-butir Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah diratifikasi sebagai kesepakatan bersama. Dalam hal ini termasuk baik yang tertuang dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup maupun dalam undang-undang lain yang bersifat parsial. Pentingnya upaya pengelolaan lingkungan hidup sudah sangat jelas implikasi yang akan ditimbulkannya apabila tidak dikelola secara baik, yaitu munculnya bencana, baik secara langsung maupun secara jangka panjang.
Dalam Islam di kenal tiga macam bentuk pelestarian lingkungan. Pertama, dengan cara ihya'. Yakni pemanfaatan lahan yang dilakukan oleh individu. Dalam hal ini seseorang mematok lahan untuk dapat digarap dan difungsikan untuk kepentingan pribadinya. Orang yang telah melakukannya dapat memiliki tanah tersebut. MazhabSyafi’i menyatakan siapapun berhak mengambil manfaat atau memilikinya, meskipun tidak mendapat izin dari pemerintah. Lain halnya dengan Imam Abu Hanifahbeliau berpendapat, Ihya' boleh dilakukan dengan catatanmendapat izin dari pemerintah yang sah. Imam Malik juga berpendapat hampir sama dengan Imam Abu Hanifah.Akan tetapi, beliau menengahi dua pendapat itu dengan cara membedakan dari letak daerahnya.
Kedua, dengan proses igta'. Yakni pemerintah memberi jatah pada orang-orang tertentu untuk menempati dan memanfaatkan sebuah lahan. Adakalanya untuk dimiliki atau hanya untuk dimanfaatkan dalam jangka waktu tertentu. Ketiga, adalah dengan cara hima. Dalam hal ini pemerintah menetapkan suatu area untuk dijadikan sebagai kawasan lindung yang difungsikan untuk kemaslahatan umum. Dalam konteks dulu, hima difungsikan untuk tempat penggembalaan kuda-kuda milik negara, hewan, zakat dan lainnya. Setelah pemerintah menentukan sebuah lahan sebagai hima, maka lahan tersebut menjadi milik negara. Tidak seorang pun dibenarkan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadinya (melakukan ihya'), apalagi sampai merusaknya.
Dari uraian-uraian serta wacana-wacana di atas, sekiranya sudah mencukupi untuk dijadikan sebagai kerangka teoritik guna mendapatkan analisis terhadap pandangan hukum Islam terhadap pelestarianlingkungan.

Akhirnya, semua itu akan kembali kepada asalnya dan kembali kepada kehendak Penciptanya.  Jadi,  jelas bahwa di dalam alam lingkungan terjadi siklus biogeokimia[1] yang memiliki kesesuaian dengan ajaran Islam. Transformasi sebagaimana tersebut pada ayat di atas dapat dibandingkan dengan ungkapan hadits berikut :
 حَدِيثُ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مَثَلَ مَا بَعَثَنِيَ اللَّهُ بِهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ أَرْضًا فَكَانَتْ مِنْهَا طَائِفَةٌ طَيِّبَةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ فَأَنْبَتَتِ الْكَلَأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ وَكَانَ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوا مِنْهَا وَسَقَوْا وَرَعَوْا وَأَصَابَ طَائِفَةً مِنْهَا أُخْرَى إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لَا تُمْسِكُ مَاءً وَلَا تُنْبِتُ كَلَأً فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ بِمَا بَعَثَنِيَ اللَّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ
Diriwayatkan daripada Abu Musa r.a katanya: Nabi s.a.w bersabda: Perumpamaan Allah Azza Wa Jalla mengutusku menyampaikan petunjuk dan ilmu adalah seperti titisan hujan yang telah membasahi bumi. Manakala bumi tersebut sebahagian tanahnya ada yang subur sehingga dapat menyerap air serta menumbuhkan rerumput dan sebahagian lagi berupa tanah-tanah keras yang dapat menahan air, lalu Allah memberi manfaat kepada manusia sehingga mereka dapat meneguk air, memberi minum dan menggembala ternaknya di tempat itu. Ada juga titisan air hujan tersebut jatuh di tanah yang lain, iaitu tanah gersang yang sama sekali tidak dapat menahan air dan tidak dapat menumbuhkan rumput rampai. Manakala itu semua adalah perumpamaan orang yang bijak pandai tentang agama Allah dan memanfaatkannya setelah aku diutus oleh Allah. Maka baginda tahu dan mahu mengajar apa yang diketahuinya dan juga perumpamaan orang yang keras kepala yang tidak mahu menerima petunjuk Allah yang keranaNya aku diutuskan “  (H.R. Bukhari & Muslim). 

Menurut  Ali Yafie, ada dua landasan dasar dalam fiqh al-Bi'ah yaitu. Pertama, pelestarian dan pengamanan lingkungan hidup dari kerusakannya adalah bagian dari iman. Kualitas iman seseorang bisa diukur salah satunya dari sejauh mana sensitivitas dan kepedulian orang tersebut terhadap kelangsungan lingkungan hidup.Kedua, melestarikan dan melindungi lingkungan hidup adalah kewajiban setiap orang yang berakal dan baligh (dewasa). Melakukannya adalah ibadah, terhitung sebagai bentuk bakti manusia kepada Tuhan. Sementara penanggung jawab utama menjalankan kewajiban pemeliharaan dan pencegahan kerusakan lingkungan hidup ini terletak di pundak pemerintah. Ia telah diamanati memegang kekuasaan untuk memelihara dan melindungi lingkungan hidup, bukan sebaliknya mengeksploitasi dan merusaknya.

 semoga bermanfaat ...