Lingkungan hidup,
sebagai karunia Allah SWT, berupa sistem dari ruang, waktu, materi,
keanekaragaman, dan alam pikiran serta prilaku manusia, merupakan daya dukung
bagi kehidupan dan kesejahteraan bagi manusia dan seluruh makhluk lainnya.
Islam merupakan agama yang berisi ajaran dan
petunjuk serta pedoman bagi para pemeluknya tentang bagaimana manusia harus bersikap
dan berprilaku dalam kehidupan.
Petunjuk dan pedoman ini secara sempurna telah digariskan oleh ajaran
Islam dalam kitab suci Nya, Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi SAW. Petunjuk ini mengatur manusia bagaimana
harus hidup bahagia dan sejahtera, didunia
dan di akhirat. Di samping itu petunjuk
ini juga mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, sang penciptanya, hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan manusia dengan alam semesta termasuk
bumi yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Pemurah dan Pengasih bagi
kesejahteraan hidupnya. Karenanya, Islam
secara jelas mengajarkan tanggung jawab manusia bagi kelangsungan hidup dan
kesejahteraan makhluk hidup lainnya.
Hingga saat ini permasalahan lingkungan hidup mendapat perhatian besar
dari hampir semua negara-negara di dunia. Ini terutama terjadi dalam dasawarsa
1970-an setelah diadakannya konferensi PBB tentang lingkungan hidup di Stokholm
pada tanggal 5 Juni 1972. Konferensi ini kemudian dikenal dengan Konferensi
Stokholm, dan pada hari dan tanggal itulah kemudian ditetapkan sebagai hari
lingkungan hidup sedunia. Namun sayangnya hingga saat ini lepas dari tiga
dekade kemudian-walaupun jumlah lembaga dan aktivis environmentalism semakin
bertambah dari tahun ke tahun, namun laju kerusakan lingkungan masih terus
berlangsung. Kegagalan tersebut banyak diakui kalangan aktivis disebabkan
karena kebijakan yang disusun tidak secara konsisten dilaksanakan.
Pendidikan lingkungan
hidup, yakni pendidikan yang berhubungan dengan pengetahuan lingkungan di sekitar
manusia dengan berbagai unsurnya, memiliki posisi penting dalam
rangka menjaga keserasian dan kelangsungan lingkungan hidup itu sendiri.
Istilah lingkungan,
sebagai ungkapan singkat dari lingkungan hidup merupakan alih bahasa dari
istilah asing environment (Inggris) dan al-bi`ah (Arab). Ilmu yang mengkaji tentang lingkungan hidup
ini disebut ekologi.[1]
Jadi ilmu lingkungan hidup adalah ilmu yang mempelajari tentang kenyataan
lingkungan hidup, dan bagaimana mengelolanya untuk menjaga kelangsungan
perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. (Soerjani, 1984).
Kata ‘lestari’ dapat
diartikan sebagai tetap seperti
keadaannya semula, tak berubah atau kekal. Jadi, pelestarian adalah pengelolaan
sumber daya alam yang menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin
kesinambungan persediaannya dengan
tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya.
Islam sebagai agama samawi
terakhir di dunia, di bawa oleh Nabi
Muhammad saw. sebagai penyempurna agama-agama sebelumnya. Konsekuensinya,
Islam akan dan harus bisa menjawab tantangan-tantangan dari kedinamisan yang ada
di dunia sampai masa akhir nanti (kiamat). Tantangan tersebut dapat berupa
tantangan yang berhubungan
dengan tauhid, jinayah maupun muamalah. Walaupun tantangan dari kedinamisan perjalanan masa
dapat terjawab dengan sempurna oleh Islam, namun
banyak kalangan tetap berprasangka, bahwa jalan terbaik menghilangkan prasangka tersebut adalah harus dijawab
secara ilmiah sehingga pemecahan persoalan terjawab secara objektif.
Al-Qur’an dan hadits
secara bersama-sama telah memberikan perhatian yang cukup memadai bagi
permasalahan lingkungan. Perhatian hadits
terhadap lingkungan akan dapat diperoleh, diantaranya, dalam hadits-hadits yang
berkaitan dengan aspek kesehatan. Dalam al-Qur'an dijelaskan bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi. Kewajiban manusia sebagaikhalifah di bumi adalah dengan menjaga dan mengurus bumi dan segala yang ada di
dalamnya untuk dikelola sebagaimana mestinya. Dalam hal
ini kekhalifahan sebagai tugas dari Allah untuk mengurus bumi harus dijalankan sesuai dengan
kehendak penciptanya dan tujuan penciptaannya. Tujuan Allah mensyariatkan
hukumnya adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia,
sekaligus untuk menghindari kerusakan (mafsadah), baik di dunia maupun di akhirat. Untuk mewujudkan
kemaslahatan itulah Abu Ishaq al-Syatibi, Dalam kitab al-Muwâfaqât, membagi tujuan
hukum Islam (maqâshid
al-syarîah) menjadi lima hal:
1) penjagaan agama (hifdz
al-dîn), 2) memelihara jiwa (hifdz
al-nafs), 3) memelihara akal (hifdz
al-‘aql), 4) memelihara keturunan (hifdz
al-nasl), dan 5) memelihara harta benda (hifdz
al-mâl). Lebih jauh Yusuf al-Qardlawi dalam Ri’âyatu al-Bi’ah fi al-Syarî’ati
al-Islâmiyyah menjelaskan
mengenai posisi pemeliharaan ekologis (hifdz
al-`âlam) dalam Islam adalah
pemeliharaan lingkungan setara dengan menjaga maqâshidus
syarî’ah yang lima tadi.
Selain al-Qardlawi, al-Syatibi juga menjelaskan bahwa sesungguhnya maqâshidus syarî’ah ditujukan untuk menegakkan
kemaslahatan-kemaslahatan agama dan dunia, di mana bila prinsip-prinsip itu
diabaikan, maka kemaslahatan dunia tidak akan tegak berdiri, sehingga berakibat
pada kerusakan dan hilangnya kenikmatan perikehidupan manusia (Abdillah, 2001).
Secara formal, lingkungan hidup dapat dipandang
sebagai suatu sistem yang merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan dan makhluk, termasuk di dalamnya manusia dan prilakunya, yang
mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk
hidup lainnya. (UU No. 4 tahun 1984, Bab I
Pasal 1 ayat 1). Atau dengan kata lain,
lingkungan hidup merupakan sistem dari ruang, materi, waktu, keanekaragaman, dan
alam pikiran serta prilaku manusia.
Ruang merupakan konsep
lingkungan hidup yang utama. Dalam
Al-Qur’an, berbagai ayat memberikan paparan bahwa penciptaan ruang antara bumi
dan langit merupakan ungkapan kebesaran Allah Al-Khaliq. Sementara itu, materi,
merupakan bagian pokok dari konsep lingkungan hidup yang banyak dijelaskan
dalam Al-Qur’an. Dalam konsep lingkungan
hidup, disebutkan bahwa materi mengalami transformasi, perubahan bentuk
perwujudannya, tetapi tidak hilang ataupun musnah. Dalam beberapa ayat disebutkan berbagai
bentuk transformasi tersebut, diantaranya :
Air
sebagai sumber kehidupan, dengan
tumbuh-tumbuhan akan kamu peroleh buah-buahan dan minyak, dengan binatang akan
kamu peroleh susu dan sebagian yang untuk kamu makan. Kesemuanya ini untuk dinikmati dan disyukuri
oleh manusia. (Q.S. 23 : 17-23).
Dalam konteks ajaran Islam,
jauh sebelum persoalan-persoalan lingkungan hidup
muncul dan menghantui penduduknya, Islam telah
lebih dahulu memberi peringatan lewat ayat-ayat al-Qur'an. Urusan lingkungan hidup adalah bagian integral
dari ajaran Islam. Seorang Muslim justru menempati kedudukan strategis dalam
lingkungan hidup yang diciptakan sebagai khalifah di bumi ini sesuai dengan
Surat Al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ
فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ……﴿30﴾
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada
malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seseorang khalifah dimuka
bumi"
Ayat ini ditafsirkan secara lebih spesifik oleh
Sayyed Hossein Nasr, dosen studi Islam di George Washington University, Amerika
Serikat. dalam dua bukunya “Man and Nature ” dan “Religion and
the Environmental Crisis ”, seperti yg dikutip Alim:
“……Man therefore occupies a particular position in this
world. He is at the axis and centre of the cosmic milieu at once the master and
custodian of nature. By being taught the names of all things he gains
domination over them, but he is given this power only because he is the
vicegerent (khalifah.) of God on earth and the instrument of His Will. Man is
given the right to dominate over nature only by virtue of his theomorphic
make-up, not as a rebel against heaven”.
Sebagai khalifah, sudah tentu manusia harus bersih jasmani
dan rohaninya. Inilah inti dari kebersihan jasmani
merupakan bagian integral dari kebersihan rohani. Jelaslah bahwa tugas manusia,
terutama muslim/muslimah di muka bumi ini adalah sebagai khalifah (pemimpin)
dan sebagai wakil Allah dalam memelihara bumi (mengelola lingkungan hidup).
Oleh karena itu, dalam memanfaatkan
bumi ini tidak boleh semena-mena, dan seenaknya saja dalam mengekploitasinya.
Pemanfaatan berbagai sumber daya alam baik yang ada di laut, didaratan dan
didalam hutan harus dilakukan secara proporsional dan rasional untuk kebutuhan
masyarakat banyak dan generasi penerusnya serta menjaga ekosistemnya. Allah sudah memperingatkan dalam surat al'A'raf ayat 56:
وَلَا
تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ
رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ ﴿56﴾
" Dan janganlah kalian
membuat kerusakan di atas muka bumi setelah Allah memperbaikinya dan berdo'alah
kepada-Nya dengan rasa takut tidak diterima dan harapan (akan dikabulkan).
Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat
baik". (al-A'raf:56).
Menyadari hal tesebut maka dalam
pelaksanaan pembangunan sumber daya alam harus
digunakan dengan rasional. Penggalian sumber kekayaan harus diusahakan dengan
sekuat tenaga dan strategi dengan tidak merusak tata lingkungan dan tata hidup
manusia. Perlu diusahakan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan dan bisa
menjaga kelestariannya sehingga bisa dimanfaatkan secara berkesinambungan. Kita
harus bisa mengambil i'tibar dari ayat Allah yang berbunyi:
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ آَمِنَةً مُطْمَئِنَّةً
يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ
فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ
﴿112﴾
"Dan Allah telah membuat suatu
perumpamaan(dengan) dengan sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tentram
rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi
(penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah karena itu Allah merasakan kepada
mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka
perbuat". (an-Nahl :112).
Manusia Indonesia harus sadar bahwa krisis
multidimensi dan bencana yang datang bertubi-tubi seperti tanah longsor,
banjir, kekeringan, kebakaran hutan, tanaman diserang hama dan lainnya adalah
karena ulah manusia itu sendiri.
ظَهَرَ
الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ ﴿41﴾
"Telah nampak kerusakan didarat dan dilaut disebabkan
karena perbuatan tangan manusia, supaya Alllah merasakan kepada mereka sebagian
dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali kejalan yang benar". (QS.
ar-Rum: 41).
Dalam ayat-ayat tersebut
diatas Allah SWT secara tegas menjelaskan tentang akibat yang
ditimbulkan kerena perbuatan manusia yang mengekploitasi
lingkungan yang berlebihan. Ayat-ayat Al-Qur'an ini sekaligus juga menjadi sebuah terobosan paradigma baru untuk melakukan pengelolaan lingkungan
melalui sebuah ajaran religi, sehingga
hak atas lingkungan adalah hak bagi setiap umat di dunia. Selain itu, hak atas lingkungan sebagai hak dasar manusia juga telah menjadi kesepakatan
internasional melalui butir-butir Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah diratifikasi sebagai kesepakatan
bersama. Dalam hal ini termasuk baik yang tertuang dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup maupun dalam undang-undang lain yang bersifat parsial.
Pentingnya upaya pengelolaan lingkungan
hidup sudah sangat jelas implikasi yang akan ditimbulkannya apabila tidak dikelola secara baik, yaitu munculnya
bencana, baik secara langsung maupun
secara jangka panjang.
Dalam Islam di kenal tiga
macam bentuk pelestarian lingkungan. Pertama, dengan cara ihya'. Yakni
pemanfaatan lahan yang dilakukan oleh individu. Dalam hal ini seseorang
mematok lahan untuk dapat digarap dan difungsikan untuk kepentingan
pribadinya. Orang yang telah melakukannya dapat memiliki tanah tersebut.
MazhabSyafi’i menyatakan siapapun berhak mengambil manfaat
atau memilikinya,
meskipun tidak mendapat izin dari pemerintah. Lain halnya dengan Imam Abu Hanifah, beliau
berpendapat, Ihya' boleh dilakukan dengan catatanmendapat izin dari
pemerintah yang sah. Imam Malik juga berpendapat hampir sama
dengan Imam Abu Hanifah.Akan tetapi, beliau menengahi dua pendapat
itu dengan cara membedakan dari letak daerahnya.
Kedua, dengan
proses igta'. Yakni pemerintah memberi jatah pada orang-orang tertentu untuk menempati dan
memanfaatkan sebuah lahan. Adakalanya untuk
dimiliki atau hanya untuk dimanfaatkan dalam jangka waktu tertentu. Ketiga, adalah dengan cara hima. Dalam hal ini pemerintah
menetapkan suatu area untuk
dijadikan sebagai kawasan lindung yang difungsikan untuk kemaslahatan umum. Dalam konteks dulu, hima difungsikan
untuk tempat penggembalaan
kuda-kuda milik negara, hewan, zakat dan lainnya. Setelah pemerintah menentukan
sebuah lahan sebagai hima, maka lahan tersebut menjadi milik
negara. Tidak seorang pun dibenarkan memanfaatkannya untuk kepentingan
pribadinya (melakukan ihya'), apalagi sampai merusaknya.
Dari
uraian-uraian serta wacana-wacana di atas, sekiranya sudah mencukupi untuk dijadikan
sebagai kerangka teoritik guna mendapatkan analisis terhadap pandangan hukum Islam
terhadap pelestarianlingkungan.
Akhirnya,
semua itu akan kembali kepada asalnya dan kembali kepada kehendak
Penciptanya. Jadi, jelas bahwa di dalam alam lingkungan terjadi siklus
biogeokimia[1]
yang memiliki kesesuaian dengan ajaran Islam. Transformasi sebagaimana tersebut
pada ayat di atas dapat dibandingkan dengan ungkapan hadits berikut :
حَدِيثُ
أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مَثَلَ مَا بَعَثَنِيَ اللَّهُ بِهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ
الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ أَرْضًا فَكَانَتْ مِنْهَا
طَائِفَةٌ طَيِّبَةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ فَأَنْبَتَتِ
الْكَلَأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ وَكَانَ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ
فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوا مِنْهَا وَسَقَوْا وَرَعَوْا
وَأَصَابَ طَائِفَةً مِنْهَا أُخْرَى إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لَا تُمْسِكُ مَاءً وَلَا
تُنْبِتُ كَلَأً فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ بِمَا
بَعَثَنِيَ اللَّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ
رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ
“Diriwayatkan daripada Abu Musa r.a katanya: Nabi s.a.w
bersabda: Perumpamaan Allah Azza Wa Jalla mengutusku menyampaikan petunjuk dan
ilmu adalah seperti titisan hujan yang telah membasahi bumi. Manakala bumi
tersebut sebahagian tanahnya ada yang subur sehingga dapat menyerap air serta
menumbuhkan rerumput dan sebahagian lagi berupa tanah-tanah keras yang dapat
menahan air, lalu Allah memberi manfaat kepada manusia sehingga mereka dapat
meneguk air, memberi minum dan menggembala ternaknya di tempat itu. Ada juga
titisan air hujan tersebut jatuh di tanah yang lain, iaitu tanah gersang yang
sama sekali tidak dapat menahan air dan tidak dapat menumbuhkan rumput rampai.
Manakala itu semua adalah perumpamaan orang yang bijak pandai tentang agama
Allah dan memanfaatkannya setelah aku diutus oleh Allah. Maka baginda tahu dan
mahu mengajar apa yang diketahuinya dan juga perumpamaan orang yang keras
kepala yang tidak mahu menerima petunjuk Allah yang keranaNya aku diutuskan
“ (H.R. Bukhari & Muslim).
Menurut Ali Yafie, ada dua
landasan dasar dalam fiqh al-Bi'ah yaitu. Pertama,
pelestarian dan pengamanan lingkungan hidup dari kerusakannya adalah bagian
dari iman. Kualitas iman seseorang bisa diukur salah satunya dari sejauh mana
sensitivitas dan kepedulian orang tersebut terhadap kelangsungan lingkungan
hidup.Kedua, melestarikan dan melindungi lingkungan hidup adalah
kewajiban setiap orang yang berakal dan baligh (dewasa). Melakukannya
adalah ibadah, terhitung sebagai bentuk bakti manusia kepada Tuhan. Sementara
penanggung jawab utama menjalankan kewajiban pemeliharaan dan pencegahan
kerusakan lingkungan hidup ini terletak di pundak pemerintah. Ia telah
diamanati memegang kekuasaan untuk memelihara dan melindungi lingkungan hidup,
bukan sebaliknya mengeksploitasi dan merusaknya.